Dulu, nasib penyuluh tentu termasuk kelembagaan penyuluhan, ketika pengelolaannya dibawah Kanwil Pertanian, kinerjanya sungguh membanggakan. Karena, partisipasi penyuluh yang tidak dapat dianggap kecil dalam pencapaian swasembada pangan nasional. Dan swasembada pangan nasional yang dicapai Indonesia itu, diakui oleh perserikatan bangsa-bangsa ( PBB).
Sejak dilimpahkan kewenangan penyuluhan dan tenaga penyuluh dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, telah terjadi perubahan paradigma penanganan penyuluhan termasuk dalam pengelolaan kelembagaan penyuluhan. Sayangnya perubahan itu bukan menuju ke arah yang lebih baik, tetapi ke arah yang kurang baik. Akibatnya berdampak pada menurunnya motivasi dan kinerja penyuluh dalam melaksanakan pendampingan kepada pelaku utama dan pelaku usaha.
Sebagai contoh, standar minimal sarana dan prasarasana penyuluhan kecamatan(Balai Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan/BP3K), mestinya mempunyai sarana sebagai berikut :
- Pusat informasi :
Berupa perlengkapan komputer + Modem + LAN/lokal area network), Display, Kamera digital, Handycam, Telepon + Mesin fax.
- Alat Bantu Penyuluhan :
Berupa : Overhead projector, LCD projector, Sound system, TV, VCD/DVD, tape recorder.
- Peralatan administrasi,
- Alat transportasi,
- Buku dan hasil publikasi,
- Mebeulair.
Hal yang kami sebut di atas, baru sarana yang harus dimiliki dan belum diuraikan secara rinci, dan belum lagi prasarananya. Secara lengkap lihat Permentan No: 51 tahun 2009, tentang Pedoman standar minimal dan pemanfaatan sarana dan prasarana penyuluhan pertanian.
Bagaimana sarana dan prasarana pada BP3K kita, mari kita lihat, jumlah BP3K di Lampung sampai tahun 2013 adalah 204, yang menyedihkan adalah sampai hari ini, masih ada beberapa BP3K yang belum mempunyai/dipasang instalasi listrik. Misalnya di Lampung Selatan, di Tulang Bawang, Mesuji dan lain-lain. Sedangkan di BP3K Kecamatan Gedung Tataan Kabupaten Pesawaran, beberapa bulan lalu, baru memasang instalasi listrik berkat patungan para penyuluhnya.
Bagaima dengan mebeulair yang dimiliki BP3K, juga ada BP3K yang mebeulair-nya hasil patungan dari para penyuluh, ada yang diberi oleh Gabungan kelompok-tani, atau oleh kelompoktani. Bahkan ada BP3K yang meminjam di balai desa sebelahnya jika ada pertemuan di BP3K bersangkutan.
Lalu, bagaimana kelembagaan penyuluhan yang bernama BP3K itu menjalankan fungsinya secara optimal, jika kondisinya demikian? Sedangkan BP3K itu merupa-kan bagian integral dalam pembangunan pertanian di wilayah kecamatan, yang harus masuk dalam kesisteman perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian program pembangunan wilayah.
Itu kondisi kelembagaan penyuluhan di tingkat kecamatan. Bagaimana dengan keragaan kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota? Kelembagaam penyuluhan di tingkat kabupaten/kota, menurut Undang-undang No 16 tahun 2006 bahwa kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/kota berbentuk badan pelaksana penyuluhan. Nyatanya dari 15 kabupaten/kota di Lampung, masih ada 3 kabupaten/kota yang kelembagaan penyuluhannya belum sesuai dengan undang-undang tersebut. Juga masih ada kelembagaan penyuluhan di tingkat kabupaten/ kota belum mempunyai gedung/kantor sendiri.
Selain itu fasilitasi penyuluh di tingkat kabupaten/kota masih banyak yang belum memenuhi standar minimal. Contohnya alat bantu penyuluhan, masih sangat minim kalau tidak boleh dibilang tidak ada yang diberikan kepada penyuluh. Dengan kondisi teknologi informasi dan teknologi (IT) yang sangat pesat, sedangkan sarana dan prasarana yang dimiliki sangat minimal, tentu sangat menyulitkan untuk melaksanakan tugas secara optimal.
Begitulah kiranya kinerja penyuluh kalau dilihat dari aspek sarana penyuluhan. Bagaimana kalau dilihat dari segi kompetensi penyuluh? Menurut Undang-undang No 16 tahun 2006 pasal 21, bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah meningkat-kan kompetensi penyuluh PNS (pegawai negeri sipil) melalui pendidikan dan pelatihan.
Sedangkan yang dimaksud pemerintah daerah dalam Undang-undang No 16 tahun 2006, adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
Lalu kita boleh bertanya, pemerintah daerah mana di Lampung ini, yang mempunyai perhatian untuk meningkatkan kompetensi penyuluh melalui pendidikan dan pelatihan? Tidak usah pendidikan, pelatihan saja kalau kita bertanya kepada setiap penyuluh di tingkat kecamatan, kabupaten/kota atau provinsi, berapa kali mengikuti pelatihan dalam setahun? Jawaban akan mengagumkan, karena bisa nol (0) kali, atau bisa dihitung dengan jari sebelah tangan.
Atau tidak usah peningkatan kompetensi penyuluh, tetapi bagaimana dengan peningkatan kapasitas penyuluh saja. Kapasitas adalah kecakapan, kekuatan mesin dan sebagainya(Dariyanto S.S, 1977. Kamus Bahasa Indonesia Lengkap). Kecakapan, ketrampilan, kepandaian dan pengetahuan ini tentu harus terus menerus kita pupuk, kita hidupi supaya mumpuni dalam melaksanakan tugas penyuluhan.
Sesuai Undang-undang No 16 tahun 2006 pasal 11 d dan pasal 13 f, bahwa Badan Koordinasi Penyuluhan dan Badan Pelaksana Penyuluhan mempunyai tugas melaksanakan peningkatan kapasitas penyuluh PNS, swadaya dan swasta melalui proses pembelajaran secara berkelanjutan. Pertanyaan kita sekarang, siapakah yang peduli dan fokus meingkatkan kapasitas penyuluh melalui pembelajaran secara berkelanjutan pada Badan Koordinasi Penyuluhan atau pada Badan Pelaksana Penyuluhan? Atau maukah pemerintah daerah memberikan anggaran untuk itu?
Kalau peningkatan kapasitas penyuluh saja tidak memadai, bagaimana kemampuan penyuluh dalam melaksanakan tugas. Karena kapasitas (kecakapan) penyuluh itu ibarat accu (aki) motor, jika tidak di cas/kiproknya tidak berfungsi, lama-lama ya redup. Tidak dapat memberi penerangan yang cukup, dan bunyi klaksonnya pun tidak sempurna. Maka kata orang ‘petani lebih pandai dari pada penyuluh’ itu ada benarnya, tidak seratus persen salah.
Satu lagi, mengenai Sistem Latihan dan Kunjungan (Laku) yang merupakan “ Roh-nya Penyuluhan” Sistem Laku diamanatkan dalam Peraturan Menteri Pertanian No 82 tahun 2013 tentang Pedoman pembinaan kelompoktani dan Gabungan kelompoktani. Peraturan tersebut, adalah perubahan/perbaikan dari Permentan No 273 tahun 2007, tentang Pedoman Pembinaan Kelembagaan Petani.
Dalam sistem Laku inilah pengetahuan, ketrapilan dan sikap ditransfer kepada petani/kelompoktani/gabungan kelompoktani. Tentu untuk melakukan kunjungan dan latihan ini diperlukan biaya. Kenyataannya, baik Badan Koordinasi Penyuluhan dan Badan Pelaksana Penyuluhan tidak menganggarkan untuk kegiatan Laku. Apa lagi mau menggangarkan secara konsisten dari tahun ke tahun.
Jika kompetensi, kapasitas, sarana dan prasarana penyuluhan seperti tersebut di atas, dapatkah penyuluh menunjukkan kenerja yang tinggi dengan minim fasilitasi? Karena sementara orang menyatakan bahwa ‘Penyuluh ada, tetapi seperti tiada’ dan jawaban atas pernyataan itu adalah uraian tersebut di atas.