Upaya mewujudkan kedaulatan pangan merupakan komitmen pemerintah yang tiada henti dilakukan melalui peningkatan produksi padi. Strategi peningkatan produksi nasional saat ini dan kedepan ditempuh melalui peningkatan produktivitas (intensifikasi) dan perluasan areal tanam, baik melalui peningkatan Indek Pertanaman (IP) maupun perluasan lahan baku sawah.
Upaya tersebut optimis dapat direalisasikan karena tersedianya berbagai inovasi dan teknologi hasil penelitian, terutama yang dihasilkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), meskipun teknologi tersebut baru sebagian yang diterapkan oleh petani.
Teknologi sistem produksi padi sawah pasang surut intensif, super dan aktual (RAISA) merupakan rangkai komponen teknologi yang pada prinsipnya mengambil dari Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi pasang surut. Namun demikian komponennya menjadi aktual, karena menggunakan hasil inovasi Balitbangtan terkini untuk pengelolaan dan sistem produksi padi di lahan rawa pasang surut. Dikatakan intensif karena teknologi ini mendorong peningkatan hasil dan peluang peningkatan indeks pertanaman dari 1 menjadi 2 atau 3 kali dalam satu tahun.
Beberapa komponen dari teknologi RAISA antara lain:
- Persiapan Lahan
Penyiapan lahan dapat dilakukan menggunakan traktor. Traktor rotari dan singkal digunakan pada lahan potensial, sedangkan pada lahan sulfat masam dilakukan dengan rotari mata pisau tajam, dan tanpa Singkal agar tidak mengangkat lapisan Fe atau pirit dari dalam tanah. Kedalaman olah tidak lebih dari 20 cm atau kedalaman ideal 12-15 cm. Keuntungan menggunakan traktor dalam penyiapan lahan adalah untuk mengurangi kepadatan tanah dan dapat mempercepat waktu tanam. Herbisida perlu diaplikasikan untuk memastikan kebersihan lahan. Aplikasi dapat dilakukan secara bertahap, antara lain:
- Pra tanam: metsulfuron, etil klorimuron, & 2,4 D natrium atau 2,4-D dimetil amina atau glifosat atau paraquat diklorid atau Aplikasi dilakukan pada 1 minggu sebelum tanam/olah tanah terakhir pada tanam pindah.
- Pra tumbuh: tefuriltrion, triafamon. Aplikasi khusus untuk sistem tanam benih Diaplikasikan setelah benih tumbuh.
- Purna tumbuh : Fenoksaprop-p-etil, Etoksisulfuron atau Pyriftalid, Bensulfuron. Aplikasi dilakukan pada saat bibit/tanaman umur14-21 HSS.
Pada sistem tanam benih langsung (tabela), aplikasi herbisida dilakukan saat pra tanam, pra tumbuh dan purna tumbuh, sedangkan pada sistem tanam pindah (tapin), aplikasi herbisida dilakukan pada pra tanam dan purna tumbuh saja.
- Pengelolaan Tata Air Mikro
Di lahan pasang surut, pengelolaan air secara makro maupun mikro sangat penting. Penataan dan pengelolaan air secara makro dilakukan dengan membangun saluran irigasi primer dan sekunder dengan pintu air di muara saluran tersier. Jaringan tata air makro sangat berpengaruh terhadap keberhasilan di tingkat mikro. Pengelolaan Tata Air mikro (TAM) bertujuan untuk (1) menyediakan air sesuai kebutuhan tanaman, (2) menyimpan atau konservasi air pada saat kemarau dan membuang kelebihan air saat pasang besar dan musim hujan, (3) mencuci unsur atau senyawa racun dan memperkaya unsur hara bagi tanaman, (4) mencegah degradasi lahan akibat kekeringan dan atau kebakaran lahan, (5) menjaga kualitas air di petakan lahan dan saluran, dan (6) mencegah pertumbuhan gulma. Pengelolaan tata air mikro mencakup pengaturan dan pengelolaan air pada saluran kuarter dan petakan lahan yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Sistem pengelolaan air untuk tanaman pangan dapat dibedakan antara lain: (1) sistem handil, (2) sistem tata air satu arah, (3) sistem tabat, (4) sistem tata air satu arah dan tabat konservasi (SISTAK), dan (5) sistem drainase dangkal.
Sistem Handil. Sistem handil merupakan sistem tradisional petani rawa, berupa saluran kecil yang digali secara gotong royong dari tepi sungai menjorok masuk ke lokasi usahatani sepanjang 2-3 km, lebar 2-3 m dan dalam saluran 0,5-1,0 m (Idak, 1982). Sistem ini disebut sistem pengelolaan air dua arah, yaitu pengaturan air masuk (irigasi) dan keluar (drainase) dari dan ke areal usahatani melalui saluran yang sama sehingga pergantian air hanya terjadi pada daerah muara yang dekat dengan sungai/sekunder. Umumnya praktek ini diterapkan petani ditingkat tersier dan kuarter pada lahan pasang surut tipe luapan B. Sistem ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya tingkat pencucian dan penyegaran dari air pasang kurang efektif.
Sistem Tata Air Satu Arah. Sistem tata air aliran satu arah (one way flow system) adalah model pengaturan air, dimana air masuk (irigasi) dan keluar (drainase) melalui saluran yang berbeda sehingga secara berkala terjadi pergantian air mengikuti siklus satu arah. Sistem pengelolaan air satu arah ini memerlukan bangunan pintu air (flapgate dan stoplog) pada muara saluran. Pintu air pada saluran irigasi dirancang membuka ke dalam saat pasang dan menutup saat surut, sedangkan pada saluran drainase dirancang sebaliknya. Penerapan sistem ini cocok untuk rawa pasang surut tipe luapan A dan B, selain pada tingkat tersier juga penerapannya perlu didukung pada tingkat sekunder. Sistem satu arah ini dimaksudkan untuk menciptakan terjadinya sirkulasi air dalam satu arah baik air permukaan maupun air bawah tanah karena adanya perbedaan tinggi muka air dari saluran tersier irigasi dan drainase. Model saluran ini akan membantu pencucian kandungan Fe dan beberapa mineral beracun lainnya seperti Aluminium.
Sistem Tabat. Pada lahan tipe luapan C atau D, terjadi drainase harian yang intensif sehingga pada saat kemarau atau menjelang kemarau muka air tanah (ground water level) dapat turun mencapai >1 m sehingga tanaman mengalami cekaman kekurangan air. Upaya mempertahankan tinggi muka air tanah, perlu dibuat dam/tabat pada masing-masing muara saluran sekunder atau tersier. Tinggi tabat bervariasi tergantung kebutuhan, misalnya untuk palawija/sayuran
Sistem Tata Air Satu Arah dan Tabat Konservasi (SISTAK). Pada tipe luapan B yang tidak terluapi air pasang pada musim kemarau diperlukan kombinasi antara sistem tata air satu arah dengan tabat konservasi (SISTAK), sedangkan pada tipe luapan B yang terluapi air pasang di musim kemarau cukup diterapkan tata air satu arah.
Sistem Drainase Dangkal. Sistem ini diterapkan pada lahan tipe luapan C untuk palawija dan sayuran. Saluran tersier dan kuarter diatur sedemikian rupa agar hanya berfungsi sebagai saluran drainase terutama pada musim hujan. Pada areal pertanaman dibuat saluran- saluran drainase dangkal yang akan berfungsi sebagai saluran pembuang. Sistem ini perlu didukung dengan tabat konservasi untuk mempertahankan tinggi muka air sesuai kebutuhan tanaman.
- Pengaturan Cara Tanam dan Populasi Tanaman
Sistem budidaya padi yang diterapkan di petani dipengaruhi oleh ketersediaan air, lahan, dan kekurangan tenaga kerja. Beberapa cara tanam yang sudah diterapkan diantaranya sistem tanam tapin, tabela, dan salibu. Perbedaan antara sistem tapin dan tabela terletak pada kondisi benih yang digunakan. Sistem tapin banyak diterapkan di lahan sawah irigasi sedangkan sistem tabela banyak diterapkan di lahan gogo dan lahan rawa. Terdapat dua metode tabela, yaitu 1) Sebar kering/ dry seeding (sebar benih kering ke tanah kering), 2) Sebar basah/wet seeding (sebar benih pra germinasi di tanah basah). Penaburan benih dalam larikan dapat menggunakan alat tanam benih langsung (atabela).
Karakteristik varietas yang dibutuhkan pada sistem tabela adalah mampu berkecambah dalam kondisi anaerob, perakaran dalam sehingga tidak mudah rebah, jumlah anakan sedikit, malai panjang dengan jumlah gabah bernas tinggi. Karakter lain yang diinginkan adalah dapat memperbaiki seedling anchorage, mengurangi kemampuan bertunas (anakan), umur lebih panjang, daun bendera yang luas, malai besar dengan kapasitas sink yang lebih tinggi (Pane 2003).
Manajemen budidaya lainnya yang dianggap cukup berpeluang untuk peningkatan hasil yaitu melalui pengaturan populasi tanaman. Pendekatan hasil merupakan perkalian antara kemampuan varietas menghasilkan malai produktif, jumlah gabah per malai, dan berat gabahnya. Oleh karena itu, pengaturan populasi tanaman per ha yang lebih tinggi diharapkan dalam berbanding lurus dengan peningkatan jumlah malai per ha.
Sistem tanam legowo merupakan cara tanam padi sawah dengan pola beberapa barisan tanaman yang kemudian diselingi satu barisan kosong. Tanaman yang seharusnya ditanam pada barisan yang kosong dipindahkan sebagai tanaman sisipan di dalam barisan.
- Varietas Unggul Baru (VUB) Spesifik Lokasi dan Benih Bermutu
Varietas unggul merupakan salah satu komponen utama teknologi yang terbukti mampu meningkatkan produktivitas padi dan cepat diadopsi petani karena murah dan penggunaannya lebih praktis. Pemerintah telah melepas beberapa varietas unggul padi spesifik lahan pasang surut, sehingga petani dapat lebih leluasa memilih varietas yang sesuai dengan teknik budidaya dan kondisi lingkungan setempat. Rekomendasi benih bermutu untuk lahan adalah 40-60 kg/ ha untuk tabela dan 30-40 kg/ha untuk tanam pindah. Varietas unggul baru padi spesifik lahan pasang surut antara lain Inpara 1, Inpara 2, Inpara 3, Inpara 6, Inpara 7, Inpara 8 Agritan, Inpara 9 Agritan, Purwa, Inpara 10 BLB.
Benih bermutu adalah benih dengan tingkat kemurnian dan vigor yang tinggi. Benih varietas unggul berperan tidak hanya sebagai pengantar teknologi tetapi juga menentukan potensi hasil yang bisa dicapai, kualitas gabah yang akan dihasilkan, dan efisiensi produksi. Penggunaan benih bersertifikat atau benih dengan vigor tinggi menghasilkan bibit yang sehat dengan perakaran lebih banyak, sehingga pertumbuhan tanaman lebih cepat dan merata.
- Aplikasi Pupuk Hayati
Biotara merupakan pupuk hayati yang adaptif dengan tanah masam lahan rawa dan mampu meningkatkan produktivitas tanaman serta keberlanjutan sumber daya lahan. Biotara mengandung konsorsia mikroba decomposer (Trichoderma sp.), pelarut P (bacillus sp.), dan penambat N (azospirillum sp.). Keunggulan dari pupuk hayati biotara adalah dapat mengikat N, meningkatkan ketersediaan hara P tanah, mendekomposisi sisa-sisa organik dan memacu pertumbuhan. Selain itu pupuk hayati biotara juga dapat meningkatkan efisiensi pemupukan N dan P sampai dengan 30% dan meningkatkan hasil padi sampai dengan 20% di lahan rawa.
Sebelum pupuk hayati biotara diaplikasikan, bahan organik (jerami dan gulma) disebar merata pada saat pengolahan tanah. Pupuk hayati biotara dengan dosis 25 Kg/ha kemudian diaplikasikan dengan cara disebar merata atau dilarutkan dengan air dan disemprotkan merata pada sisa jerami atau gulma. Setelah 15 hari, sisa jerami/gulma dibalik samil dibenamkan pada lapisan olah tanah dan lahan siap ditanami.
- Ameliorasi dan Remediasi
Lahan sulfat masam biasanya memiliki pH rendah, kelarutan Al, Fe, dan Mn tinggi, ketersediaan hara P dan rendah serta kejenuhan basa rendah. Oleh karena itu perlu ditambah bahan pembenah tanah (amelioran). Ameliorasi lahan merupakan upaya memberikan bahan amelioran untuk memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah sehingga kondisi tanah menjadi lebih sesuai (favorable) bagi tanaman. Petani di lahan sulfat masam menggunakan beberapa bahan amelioran, antara lain bahan organik, pupuk organik, kompos, gypsum, fosfat alam, biochar dan kapur. Selain pupuk kandang, petani bisa menggunakan jerami padi dan gulma insitu dengan teknologi tapulikampar. Kegiatan ini merupakan proses pengomposan secara alami pada kondisi anaerobik yang dapat mengurangi kehilangan nitrogen dan mengkhelat unsur Fe dan Al.
Remediasi adalah kegiatan pemulihan tanah yang sudah mengalami degradasi baik fisik, kimia maupun biologi. Proses ini dapat meningkatkan pH, retensi air dan hara, aktivitas biota tanah dan mengurangi keracunan dan pencemaran. Remediasi dapat dilakukan dengan remediasi hayati (bioremediation) menggunakan mikroorganisme; (2) remediasi kimia (chemo remediation) menggunakan kapur, zeolit, arang aktif, biochar dan resin; dan (3) remediasi secara fisik (physic remediation) dengan cara pengenceran dan pencucian. Salah satu remediasi hayati dilakukan dengan memanfaatkan gulma yang banyak ditemukan yaitu purun tikus dan rumput bulu babi (Wahida, 2017).
- Pemupukan berimbang berdasarkan Perangkat Uji Tanah
Rawa (PUTR)
Pemupukan bertujuan untuk menambah unsur hara dari luar ke dalam tanah agar tingkat ketersediaannya meningkat. Penambahan unsur hara dilakukan berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman agar kondisi hara dalam tanah berimbang atau sesuai target produktivitas tanaman yang akan dicapai. Penentuan takaran N, P dan K berdasarkan uji tanah dapat menggunakan alat Perangkat Uji Tanah Rawa (PUTR), sedangkan pemberian pupuk N susulan menggunakan Bagan Warna Daun (BWD). Waktu pemupukan: berikan semua NPK pada umur 0-10 hst, 50% pupuk urea pada umur 24-27 hst, dan sisanya diaplikasikan pada 43-47 hst (Balitra, 2015). Dosis pupuk NPK 15-15-15 secara blanket (rekomendasi paket) sebanyak total 200 kg/ha NPKdan Urea 125 kg/ha.
- Pengendalian hama dan penyakit terpadu dan pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) terpadu dan pemanfaatan refugia sebagai perangkap tanaman
Penyebab utama tingginya serangan hama penyakit adalah: 1) lokasi lahan rawa pasang surut dekat dengan hutan, dan 2) sempitnya areal pertanaman varietas unggul sehingga serangan hama penyakit terkonsentrasi. Pengendalian hama penyakit diarahkan pada strategi pengelolaan hama terpadu (PHT) melalui penggunaan varietas tahan dan musuh alami, penggunaan pestisida sebagai alternatif terakhir. Hama utama tanaman padi adalah wereng batang cokelat, penggerek batang, dan tikus. Sedangkan penyakit penting adalah blast daun dan leher, hawar daun bakteri, dan tungro. Pengendalian hama dan penyakit diutamakan dengan tanam serempak, penggunaan varietas tahan, pengendalian hayati, biopestisida, fisik dan mekanis, feromon, dan mempertahankan populasi musuh alami. Penggunaan insektisida kimia selektif adalah cara terakhir jika komponen pengendalian lain tidak mampu mengendalikan hama penyakit. Komponen pengendalian hama dan penyakit tanaman padi adalah sebagai berikut:
- Tanam serempak dan pergiliran varietas
- Penggunaan varietas berpotensi hasil tinggi dan tahan hama penyakit
- Mempertahankan keberadaan musuh alami di lingkungan setempat
- Pemantauan populasi hama atau serangan penyakit secara rutin
- Pengendalian hama wereng sedini mungkin, ketika populasinya pada pertanaman merupakan generasi ke-1. Pada umumnya, keberhasilan pengendalian wereng cokelat jika sudah memasuki generasi ke-2 atau ke-3 akan sangat kecil, bahkan mengalami kegagalan
- Penggunaan pupuk N sesuai anjuran (tidak berlebihan)
- Pengendalian dengan insektisida secara tepat (dosis, sasaran, waktu, cara dan bahan aktif)
- Penyebaran penyakit tungro dapat dihambat melalui penekanan aktivitas pemencaran wereng hijau dengan modifikasi sebaran tanaman dan mengatur kondisi pengairan (menggenangi sawah yang terserang tungro)
- Sanitasi lingkungan untuk menghilangkan sumber inokulum penyakit dan memutus siklus hidup hama melalui eradikasi ratun/singgang
- Berdasarkan tangkapan wereng batang cokelat dan penggerek batang padi:
- Apabila tangkapan wereng batang coklat (WBC) imigran (makroptera) pada lampu perangkap terdiri atas satu generasi (seragam), maka persemaian hendaknya dilakukan 15 hari setelah puncak tangkapan. Apabila populasi WBC beragam (tumpeng tindih), maka persemaian dilakukan 15 hari setelah puncak tangkapan ke-2
- Waktu tanam yang dianjurkan adalah 15 hari setelah puncak penerbangan ngengat PBP generasi pertama. Apabila generasi penggerek batang padi (PBP) di lapangan tumpeng tindih, waktu tanam dianjurkan 15 hari setelah puncak penerbangan ngengat generasi berikutnya
- Penggunaan pestisida nabati BioProtector yang berbahan aktif senyawa eugenol, sitronelol, dan Hasil penelitian sebelumnya menerangkan bahwa senyawa tersebut efektif mengendalikan berbagai hama penting pada tanaman padi seperti wereng batang cokelat, keong mas, dan walang sangit. Eugenol yang terkandung di dalam formula juga bersifat fungisidal sehingga diharapkan mampu menekan pertumbuhan penyakit yang disebabkan oleh jamur pathogen. Bahan aktif pestisida nabati yang diaplikasikan ke pertanaman beberapa waktu kemudian akan terurai terutama 14 setelah terkena cahaya/sinar matahari dan selanjutnya akan berfungsi sebagai pupuk organik sehingga secara langsung mampu memperbaiki pertumbuhan tanaman padi. Hasil penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa aplikasi BioProtector mampu meningkatkan produksi tanaman 10 hingga 15%. Aplikasi BioProtector sebaiknya dilakukan sekitar seminggu setelah bibit tanaman padi dipindahkan ke lapang. Aplikasi BioProtector selanjutnya diulang dua kali dengan selang waktu 7-10 hari kemudian. Aplikasi terakhir dilakukan satu atau dua kali saat tanaman padi sudah memasuki fase generatif dimana bulir-bulir padi mulai terisi. Aplikasi pada fase tersebut dilakukan untuk mengendalikan populasi walang sangit sekaligus untuk menyediakan hara setelah bahan organik tanaman yang berperan sebagai bahan aktif pestisida terurai terkena sinar matahari.
- Pengendalian hama tikus dilakukan sebagai berikut:
- Di daerah endemik tikus, penerapan TBS (Trap Barrier System) dan tanaman perangkap dilakukan 3 minggu lebih awal untuk monitoring dan pengendalian. TBS berukuran 25 m x 25 m dapat mengamankan tanaman padi dari serangan tikus seluas 8-10 ha di sekelilingnya.
- LTBS berupa bentangan pagar plastik/terpal setinggi 60 cm, ditegakkan dengan ajir bambu setiap jarak 1 m, dilengkapi bubu perangkap setiap jarak 20 m dengan pintu masuk berselang-seling arah. LTBS dipasang di perbatasan daerah tikus atau pada saat ada migrasi tikus. Pemasangan LTBS dipindahkan setelah tidak ada tangkapan tikus atau sekurangkurangnya dipasang selama 3 malam berturut-turut.
- Metode pengendalian tikus berdasarkan stadia tanaman padi sebagai berikut:
Metode pengendalian dengan tanam serempak pada stadia tanaman padi semai, tanam dan matang. Metode pengendalian dengan sanitasi habitat pada stadia tanaman padi bera, olah tanam, semai dan bunting. Metode pengendalian dengan gropyok massal pada stadia tanaman padi bera, olah tanah, semai dan bunting. Metode pengendalian dengan fumigasi pada stadia tanaman padi bunting dan matang. Metode pengendalian dengan LTBS (berupa bentangan pagar plastik/terpal setinggi 60 cm, ditegakkan dengan ajir bambu setiap jarak 1 m, dilengkapi bubu perangkap setiap jarak 20 m dengan pintu masuk berselang-seling arah) pada stadia tanaman padi bera, olah tanah, tunas, dan batang. Metode pengendalian dengan TBS (Trap Barrier System) pada stadia tanaman padi olah tanah, dan semai. Metode pengendalian dengan rodentisida pada stadia tanaman padi bera.
Peningkatan produksi padi di Indonesia akan terus dilakukan sejalan dengan laju peningkatan penduduk dan alih fungsi lahan serta sejumlah tantangan lainnya melalui optimalisasi dan pengembangan budidaya pada berbagai agroekosistem. Pengelolaan agroekosistem yang beragam melalui pemanfaatan inovasi dan teknologi spesifik lokasi menjadi kunci utama keberhasilan.
Upaya optimalisasi dan pengembangan padi pada berbagai agroekosistem yang mengacu pada rekomendasi spesifik lokasi ini diharapkan dapat mencapai target peningkatan produksi padi setiap tahunnya serta berimplikasi terhadap peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani.
sumber: http://cybex.pertanian.go.id/artikel/98482/budidaya-padi-di-lahan-rawa-pasang-surut/