Pertanian Berkelanjutan

0
2003
views
Pertanian Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan merupakan pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan saat ini dan menjamin kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhan mereka. Pembangunan harus selaras dengan pengelolaan sumber daya sehingga kesejahteraan jangka panjang memiliki prioritas yang sama dengan kebutuhan yang mendesak pada saat ini. Dampak dari pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan mengakibatkan kerusakan lingkungan dan penurunan daya dukung lingkungan. Kegiatan pembangunan harus berkelanjutan dan mengacu pada kondisi alam dengan pemanfaatan yang berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian sektor strategis dalam perekonomioan nasional. Sektor strategis tersebut berperan dalam pemeliharaan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan dan bioenergi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara dan sumber pendapatan serta pelestarian lingkungan melalui praktek usaha tani yang ramah lingkungan. Pembangunan pertanian di Indonesia diarahkan menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture) sebagai bagian dari implementasi pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan pertanian (termasuk pembangunan perdesaan) yang berkelanjutan merupakan isu penting strategis yang menjadi perhatian dan pembicaraan disemua negara dewasa ini.

Pembangunan pertanian berkelanjutan selain sudah menjadi tujuan, tetapi juga sudah menjadi paradigma pola pembangunan pertanian yang diterjemahkan dalam bentuk kerangka segitiga pembangunan berkelanjutan (Environmentally Sustainable Development Triangle) yang bertumpu pada keberlanjutan ekonomi, ekologi, dan sosial.

Berkelanjutan secara ekonomis mengandung pengertian bahwa suatu kegiatan pembangunan harus mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan kapital, penggunaan sumberdaya, serta investasi secara efisien. Agar sebuah kegiatan bisa berlanjut, sebuah usahatani harus secara ekonomi menguntungkan. Pertanian berkelanjutan dapat meningkatkan kelayakan ekonomi melalui banyak cara. Secara singkat, meningkatkan pengelolaan tanah dan rotasi tanaman akan meningkatkan hasil, dalam jangka pendek maupun jangka panjang, karena meningkatkan kualitas tanah dan ketersediaan air, seperti juga menimbulkan manfaat lingkungan. Kelayakan ekonomi juga dapat dicapai dengan mengurangi penggunaan peralatan mesin, mengurangi biaya pupuk kimia dan pestisida (dimana kebanyakan petani tidak dapat membelinya), tergantung pada karakteristik dari sistem produksinya. Berkelanjutan secara ekologis berarti bahwa kegiatan tersebut mampu mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity). Pertanian berkelanjutan sering digambarkan sebagai kegiatan yang layak secara ekologis yang tidak atau sedikit memberikan dampak negatif terhadap ekosistem alam atau bahkan memperbaiki kualitas lingkungan dan sumberdaya alam dimana kegiatan pertanian bergantung. Biasanya hal di dicapai dengan cara melindungi, mendaur-ulang, mengganti dan/atau mempertahankan basis sumberdaya alam seperti tanah, air, keanekaragaman hayati dan kehidupan liar yang memberikan sumbangan terhadap perlindungan modal alami. Pupuk sintetik dapat digunakan untuk melengkapi input alami jika diperlukan. Dalam pertanian berkelanjutan, penggunaan bahan kimia yang dikenal berbahaya bagi organisme tanah, struktur tanah dan keanekaragaman hayati dihindari atau dikurangi sampai minimum. Keberlanjutan secara sosial diartikan bahwa pembangunan tersebut dapat menciptakan pemerataan hasil – hasil pembangunan, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, penguatan identitas sosial, dan pengembangan kelembagaan pelaku utama dan pelaku usaha. Keberlanjutan sosial berkaitan dengan kualitas hidup dari mereka yang bekerja dan hidup di pertanian, demikian juga dengan masyarakat di sekitarnya. Hal ini mencakup penerimaan atau pendapatan yang setara bagi stakeholder yang berbeda dalam rantai produksi pertanian. Dalam konteks pengangguran yang tinggi, pertanian berkelanjutan mempromosikan pembagian nilai tambah pertanian bagi lebih banyak anggota mayarakat melalui lebih banyak penggunaan tenaga kerja yang tersedia, dan akan meningkatkan kohesi dan keadilan sosial. Perlakuan yang layak terhadap pekerja dan memilih untuk membeli bahan-bahan secara lokal daripada membeli dari tempat jauh, juga merupakan elemen dari keberlanjutan social.

Sistem intensifikasi pertanian (revolusi hijau) selama ini sebagai pembangunan pertanian yang boros sumber daya manusia, sumber daya alam, dana dan waktu. Kita juga belum mencapai kecukupan pangan secara mantap serta kesejahteraan dan kehidupan petani masih tetap marginal. Para penentu kebijakan pembangunan lebih mengutamakan pengejaran dan percepatan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi mengabaikan dimensi keadilan. Sensus pertanian 2013 mencatat terjadinya ketimpangan penguasaan tanah di pedesaan. Ada data yang menyebutkan bahwa laju konversi lahan sawah mencapai 100 ribu hektar per tahun, dan hanya mampu diimbangi oleh pemerintah dengan pencetakan 40 ribu hektar sawah baru setiap tahunnya. Artinya, setiap tahun ada seluas 60 ribu hektar sawah yang lenyap. Tanpa upaya serius dari pemerintah, dapat dipastikan, kurang dari 20 tahun ke depan tak akan ada lagi lahan sawah di negeri ini. Sekedar mengingatkan, luas lahan sawah saat ini tinggal 7,5 juta hektar (ditambah 9,7 juta hektar lahan kering).

Karena keharusan bahwa produk pertanian harus terus meningkat mengimbangi jumlah dan kebutuhan penduduk yang selalu meningkat, maka harus digunakan teknologi pertanian yang mampu secara cepat mengingkatkan produktivitas lahan. Untuk tujuan tersebut, maka teknologi pertanian yang kita gunakan, adalah teknologi yang bertumpu pada masukan produksi yang cepat menghasilkan, berupa bibit/varietas unggul monoklonal, pupuk buatan (kimia), pestisida sintetik, zat pengatur tumbuh, penyediaan air pengairan dan mekanisasi pertanian dengan teknologi tinggi.

Swasembada beras yang dicapai pada tahun 1984, pada dasarnya berkat jasa sekitar 10,40 juta rumah tangga petani yang mendukung tahap pertama Revolusi Hijau tahun 1960-an (Sayogyo 1990). Para petani kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 1 ha per rumah tangga ternyata mampu menerapkan teknologi baru seperti benih bermutu dari varietas unggul, pemupukan berimbang, penggunaan pestisida, dan juga penggilingan gabah bermesin kecil (Rice Milling Unit = RMU). Singkatnya, tahap pertama modernisasi dan komersialisasi pertanian padi sawah telah tercapai. Tahapan berikutnya adalah penerapan secara luas teknologi budi daya padi yang secara bertahap telah disempurnakan mulai dari panca usaha tani, sapta usaha tani, 10 jurus kemampuan usaha tani hingga insus dan supra insus. Pembangunan pertanian yang bias untuk memacu produksi khususnya padi telah berdampak negatif terhadap sumber daya alam dan lingkungan. Di beberapa daerah di Jawa, petani menggunakan pupuk secara berlebihan, seperti urea, TSP, dan SP-36, sehingga menimbulkan residu zat kimia di dalam tanah dan air. Demikian pula penggunaan pestisida yang berlebih pada beberapa komoditas pangan telah menimbulkan resistensi dan resurjensi berbagai hama dan penyakit (Yusdja et al. 1992). Implikasinya adalah timbulnya serangan hama dan penyakit secara eksplosif, seperti serangan wereng coklat dan tikus pada tanaman padi, ulat grayak pada kedelai, serta berbagai hama dan penyakit pada komoditas hortikultura. Contoh lainnya adalah pembukaan lahan gambut 1 juta hektar di Kalimantan Tengah yang telah menimbulkan dampak menurunnya keanekaragaman hayati. Berbagai kegagalan pembangunan tersebut memberi pelajaran untuk mengubah orientasi pembangunan ke arah pembangunan pertanian berkelanjutan.

Kepedulian bersama global, justru lahir akibat kekhawatiran manusia, terhadap dampak buruk pembangunan termasuk kegiatan pertanian, yang mempunyai kecenderungan merusak ekosistem dan membahayakan manusia serta organisme lainnya. Akibat kontaminasi bahan-bahan kimia (pupuk dan pertisida) 5 yang digunakan dalam proses produksi pertanian akan membahayakan kesehatan manusia dan kepunahan mahluk hidup lainnya. Pembangunan (termasuk sektor pertanian) di Indonesia pada masa lampau yang lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi telah menimbulkan dampak negatif terhadap kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Untuk menjaga keberlanjutan pembangunan di masa mendatang, diperlukan reorientasi paradigma pembangunan, baik dari segi arah, strategi maupun kebijakan. Paradigma pembangunan pertanian berkelanjutan dapat menjadi solusi alternatif dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa mengabaikan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan. Pembangunan berkelanjutan akan makin optimal jika disinergikan dengan komitmen untuk membangun kemitraan di antara pelaku utama dan pelaku usaha. Pertanian berkelanjutan adalah sebuah filosofi sistem pertanian. Hal ini memberdayakan petani untuk bekerja sejalan dengan proses-proses alami untuk melindungi sumberdaya seperti tanah dan air, sambil meminimumkan dampak dari limbah terhadap lingkungan. Pada saat yang sama, sistem pertanian menjadi lebih tahan (resilient), mengatur diri sendiri dan keuntungannya dapat dipertahankan.

Salah satu praktek yang menjanjikan dan dengan cepat berkembang adalah System of Rice Intensification ( SRI). adalah metode menanam padi yang mengkombinasikan penggunaan lebih sedikit air, lebih sedikit bibit dan lebih banyak pupuk organik. Hal ini juga berkaitan dengan kondisi tanah dan tanaman yang lebih sehat dan lebih produktif dan mendorong kelimpahan dan keanekaragaman organisme tanah.

Evaluasi empiris terhadap SRI menunjukkan bahwa, diantara banyak manfaatnya, SRI menurunkan biaya produksi, memungkinkan petani menangani masalah kekurangan air, dan terutama dapat dilakukan oleh masyarakat miskin karena hal itu hampir tidak memerlukan modal, dan lebih tahan terhadap stres biotik dan abiotik, disamping kekeringan, dan karenanya mengurangi risiko yang dihadapi petani

Kendala untuk mengadopsi praktek pertanian berkelanjutan

Setelah diberikan bukti yang menunjukan bahwa praktek pertanian berkelanjutan pada kenyataannya menciptakan manfaat ganda, termasuk menurunnya biaya produksi, manfaat lingkungan, dan pada saat yang sama bisa meningkatkan produksi, adalah sangat penting untuk memahami apa yang menghambat petani miskin untuk mengadopsi teknologi ini. Berikut ini kendala yang dihadapi petani :

  1. Kondisi agro-klimat lokal. Heterogenitas lingkungan agroklimat mempunyai implikasi bahwa tidak terdapat satu pendekatan yang dapat diterapkan di seluruh dunia secara seragam. Teknik dan sistem yang berbeda diterapkan, dan diadaptasikan, dalam kondisi agroekologi yang berbeda, memberikan hasil yang berbeda. Misalnya, di Ethiopia, pengolahan tanah kurang dan teras batu memberikan hasil yang lebih baik pada daerah agak kering (semi arid) dibandingkan dengan daerah dengan curah hujan tinggi. Faktor-faktor biofisik lokal atau regional seperti kualitas tanah dan karakteristik plot telah ditemukan menjadi faktor penentu penting untuk mengadopsi teknologi pengolahan tanah konservasi. Teknologi yang sama mungkin tidak sesuai untuk semua keluarga petani karena perbedaan sumberdaya yang dimilikinya, atau pasar yang tidak sempurna atau bahkan tidak ada, serta tidak adanya kredit.
  1. Ketersediaan biomasa. Adopsi praktek pertanian berkelanjutan oleh petani miskin bergantung pada jumlah dan ketersediaan biomassa (misalnya sisa-sisa tanaman, kotoran hewan). Hal ini karena kebanyakan praktek pertanian berkelanjutan (seperti kontrol erosi, konservasi air, peningkatan kesuburan tanah, pengikatan karbon) berhubungan secara langsung dengan biomasa yang digunakan untuk memperbaiki kualitas tanah. Kuantitas biomasa yang tersedia bagi petani kecil umumnya tidak mencukupi karena petani miskin mempunyai sumberdaya yang terbatas (seperti lahan, ternak dan/atau tenaga kerja). Beberapa studi telah menemukan bukti bahwa kepemilikan ternak mempengaruhi adopsi penerapan kompos, sedangkan total lahan yang dimiliki dan tenaga kerja membatasi adopsi pengolahan tanah konservasi. Adopsi dari teknik seperti penggunaan tanaman penutup dan sisa-sisa tanaman (mulsa) di daerah dataran tinggi Ethiopia bergantung pada ukuran lahan pertanian dan ketersediaan tenaga kerja. Jadi, meskipun petani miskin sadar akan terjadinya degradasi tanah dan lingkungan yang disebabkan tidak digunakannya biomasa untuk memperbaiki kualitas tanah, mereka mungkin masih memilih untuk mengalihkan biomasa yang langka itu untuk digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak atau sebagai makanan ternak karena mereka tidak mempunyai alternatif lain.
  2. Insentif ekonomi. Insentif ekonomi juga sangat penting dalam menentukan kelayakan ekonomi dari pertanian berkelanjutan. Tingkat keuntungan (dalam jangka pendek dan jangka panjang) dari praktek pertanian berkelanjutan akan mempengaruhi penyebarannya secara luas. Adopsi dan pendapatan ekonomi dari sebuah teknologi merupakan fungsi dari atau dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti harga, permintaan konsumen untuk pangan jenis tertentu, infrastruktur fisik, akses pasar, agro-ekologi dan karakteristik dari rumah tangga (seperti kaya lawan miskin dan kepala keluarga laki-laki lawan kepala keluarga perempuan). Juga penting, tingkat keuntungan dari sebuah praktek tertentu bergantung pada kondisi agro-ekologi. Meningkatnya harga input akan mendorong adopsi praktek pertanian berkelanjutan karena petani akan menggantikan input eksternal dengan praktek yang seringnya lebih banyak menggunakan tenaga kerja dan sumberdaya yang tersedia secara lokal.
  1. Pasar produk. Permintaan juga menjadi pendorong diadopsinya sebuah teknologi. Pengetahuan yang meningkat dan perbaikan jalur komunikasi akan mengarahkan konsumen untuk meningkatkan permintaannya akan produk pangan yang diproduksi secara organik di negara-negara maju. Pada saat yang sama, konsumen semakin meminta produk makanan yang diproduksi dengan menggunakan teknik konservasi sumberdaya alam, mengurangi tekanan terhadap lingkungan dan menaruh perhatian terhadap kelayakan untuk daerah perdesaan dan kesejahteraan hewan. Hal ini bisa menjadi kesempatan untuk mengadopsi praktek-praktek pertanian berkelanjutan bagi negara-negara maju. Petani-petani di negara berkembang tidak terintegrasi dengan pasar input dan output. Hal ini mempengaruhi promosi dan adopsi teknologi ini. Studi di Ethiopia, Kenya dan Republik Dominika menemukan bahwa infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik mempunyai dampak positif terhadap adopsi teknologi termasuk praktek pertanian berkelanjutan. Biaya investasi yang dibayar di muka dan biaya transaksi dalam pembelajaran dalam mengembangkan atau adaptasi teknologi lama juga menjadi hambatan dalam mengadopsi teknologi ini, terutama di negara berkembang dimana pasar modal bersifat tak sempurna.
  1. Akses Informasi. Akses terhadap informasi juga penting dalam menimbulkan kesadaran dan sikap terhadap adopsi teknologi. Ketidakcukupan informasi tentang ketersediaan, manfaat bersih dari adopsi, dan detil teknis implementasi praktek pertanian berkelanjutan menjadi penghambat untuk mengadopsi teknologi ini. Di Ethiopia, studi baru-baru ini menemukan bahwa akses terhadap pelayanan penyuluhan pertanian mempengaruhi adopsi kompos dan pengolahan tanah kurang (less tillage) secara positif, sedangkan pendidikan formal (sebagai lawan dari tanpa pendidikan sama sekali) meningkatkan kemungkinan penerapan kompos. Kurangnya kesadaran terhadap besarnya masalah erosi tanah seperti juga kurangnya pengetahuan tentang teknologi konservasi juga diidentifikasi sebagai dua hambatan utama petani dalam mengadopsi teknologi konservasi tanah dan air di Tanzania.
  1. Penguasaan Lahan. Ketidakamanan penguasaan lahan (land tenure insecurity) telah terbukti menjadi kendala bagi setiap investasi dimana penerimaannya dibobot dengan (akan diterima di) masa depan, ketika uang kontan saat sekarang yang diperlukan. Hal ini berlaku untuk semua adopsi teknologi termasuk praktek pertanian berkelanjutan. Meskipun demikian, dampak ketidakamanan penguasaan lahan dalam investasi dari praktek berkelanjutan telah ditemukan spesifik lokasi atau negara. Di Filipina dan Honduras, ketidakamanan penguasaan secara positif dan signifikan mempengaruhi adopsi “hedgerow” (pagar tanaman hidup diantara tanaman yang diusahakan) dan pengolahan tanah minimum (minimum tillage). Meskipun demikian, sebuah studi yang dilaksanakan di Uganda dan Selatan Ethiopia dimana kelangkaan sumberdaya merupakan hal yang umum, menemukan bahwa ketidakamanan penguasaan lahan tidak secara signifikan menghambat investasi pada lahan.
  1. Kendala Politik. Pada tingkat nasional dan internasional, kebijakan lingkungan mungkin agak kondusif bagi penyebar-luasan praktek pertanian berkelanjutan. Pada awalnya, faktor yang mempengaruhi rancangan kebijakan pertanian adalah tingkat kesadaran para pembuat keputusan tentang manfaat dari praktek pertanian berkelanjutan, yang diantaranya mewakili perubahan yang signifikan dari paradigma yang diterima sebelumnya. Sebagai tambahan, pertanian berkelanjutan dengan mengurangi input eksternal seperti pupuk dan bahan kimia lainnya untuk mengontrol gulma dan hama, mungkin akan menghadapi tantangan dari industri agro-kimia dan aktor tradisional lainnya dalam rantai suplai input pertanian intensif. Agar bisa berhasil meningkatkan secara luas penerapan pertanian berkelanjutan diperlukan dukungan politik pada berbagai level dari lokal sampai nasional.
  2. Kelembagaan juga merupakan aspek penting dalam memfasilitasi promosi dan adopsi praktek pertanian berkelanjutan. Penelitian terapan, pelayanan penyuluhan, dan jaringan LSM dapat menjadi jembatan untuk pengembangan, implementasi, dan adaptasi dari pratek-praktek seperti ini. Pendekatan partisipatoris yang ikut mempertimbangkan modal masyarakat (modal sosial) dalam implementasi teknologi telah diidentifikasi menjadi salah satu faktor penting dalam mempengaruhi adopsi dari praktek-praktek pertanian berkelanjutan.
  3. Kurangnya pelayanan penyuluhan yang layak telah diidentifikasi sebagai penghambat dari adopsi teknologi untuk meningkatkan produktivitas, dan dianggap sebagai salah satu kelemahan sistem penyampaian dalam penyuluhan. Untuk menjamin bahwa informasi yang tepat dan terkini telah disampaikan oleh para penyuluh, diperlukan pengembangan sistem pelatihan dan organisasi yang senantiasa meningkatkan kompetensi para penyuluh, terutama mengenai praktek-praktek bertani tidak konvensional seperti pertanian berkelanjutan. Bukti empiris menunjukkan, penurunan kinerja kelembagaan penyuluhan pertanian dan kelompok tani pada awal otonomi daerah menjadi salah satu faktor kunci tidak stabilnya produksi pertanian, khususnya padi dan beberapa komoditas palawija. Padmanagara dalam Gunardi (1980) mendiskripsikan tugas penyuluh pertanian, yaitu: 1) menyebarkan informasi pertanian, 2) mengajarkan keterampilan dan kecakapan bertani yang lebih baik, 3) memberikan rekomendasi berusaha tani yang menguntungkan, 4) mengupayakan fasilitas produksi dan usaha yang lebih menguntungkan dan menggairahkan, serta 5) menimbulkan swadaya dan swadana dalam perbaikan usaha tani. Ke depan, penyuluh pertanian pada era otonomi daerah diharapkan tidak hanya membuat petani mampu berproduksi sesuai anjuran, tetapi juga dapat berproduksi secara mandiri berdasarkan rasionalitas ekonomi sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Penyuluh pertanian bukan hanya sebagai penyampai informasi dan teknologi, tetapi juga sebagai agen untuk menciptakan pertanian sebagai usaha yang menguntungkan. Singkatnya, penyuluh pertanian harus mampu memfasilitasi dan mediasi untuk mengembangkankemitraan usaha agribisnis. Kelembagaan kelompok tani perlu pula melakukan konsolidasi, baik dari aspek keanggotaan, manajemen maupun orientasi usaha. Kelembagaan kelompok tani ke depan hendaknya mampu mentransformasikan diri dari kelembagaan usaha tani dalam ikatan horizontal menuju kelembagaan yang berorientasi pasar dan terintegrasi secara vertikal, atau berbentuk koperasi agribisnis yang berbadan hukum. Adnyana (2005) memperkenalkan suatu kelembagaan petani yang disebut “Sistem Agribisnis Korporasi Terpadu” (Integrated Corporate Agribusiness System). Pada kelembagaan ini, petani melakukan konsolidasi manajemen usaha pada hamparan lahan yang memenuhi skala usaha, misalnya 50−100 ha. Konsolidasi manajemen dituangkan dalam bentuk kelembagaan agribisnis seperti Kelompok Usaha Agribisnis Terpadu (KUAT), sistem kebersamaan ekonomi, dan lainnya. Kelompok usaha tersebut sebaiknya berbentuk korporasi, asosiasi atau koperasi yang berbadan hukum serta menerapkan manajemen korporasi dalam menjalankan usahanya. (Zae)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here